Rabu, 09 Maret 2011

MENGKRITISI YANG DIURAPI

MUNGKIN judul di atas dianggap tak lazim oleh sekelompok orang. Bagi yang lainnya, berpikir tentang apa yang dimaksud dalam kata yang diurapi. Tapi mungkin ada juga yang dengan segera akan berkata, “Ini tidak benar!” Setiap pendapat terhadap sebuah judul itu biasa, tapi akan menjadi sangat menyedihkan jika tak membaca tuntas. Mari kita mulai dengan kata-kata “yang diurapi”, yang sekarang ini seringkali dipakai dalam lingkungan orang Kristen, khususnya menyangkut hamba-hamba Tuhan yang dianggap hebat oleh dan dengan ukuran umat. Istilah lagi ngetop, naik daun, di kalangan para selebritis, ternyata menyelinap ke dalam dunianya pengkhotbah. Sehingga pengkhotbah kini disorot dari aspek populernya, jumlah undangan khotbahnya, dan tentu saja luas area khotbahnya. Sayangnya semua penilaian tentang pengkhotbah seringkali mengesampingkan asas yang justru terpenting, yaitu kehidupan moralnya, perilaku ekonominya, dan keluarganya. Pengkhotbah kini dijadikan sebagai pengundang masa. Maklum, sebuah ibadah terbilang sukses jika pengunjungnya membeludak. Ibadah adalah kuantitas, bukan lagi kualitas.

Nah pengkhotbah yang populer itu disebut sebagai hamba Tuhan “yang diurapi”. Dalam Perjanjian Lama (PL), kata diurapi secara asasi menunjuk kepada tindakan ilahi. Itu sebab mereka yang diurapi adalah yang memiliki jabatan nabi (1 Raj 19: 16), imam (Keluaran 28: 41), raja (2 Samuel 2: 4), dalam pengertian ditahbiskan sebagai alat khusus bagi Allah. Begitu juga jika menyangkut benda tertentu, seperti tabut perjanjian dan perkakas bait Allah, diurapi yang berarti dikhususkan sebagai alat yang suci. Tetapi ingat, bukan alatnya yang suci, melainkan tujuan pemakaian alatnya. Itu sebab Allah akan murka jika umat mengultuskan benda apa pun, sebagaimana diatur dalam 10 hukum. Dalam pengurapan digunakan minyak yang dibuat dengan aturan yang ketat, begitu juga penggunaannya (Keluaran 30: 25). Orang yang membuat minyaknya sembarangan, atau menggunakannya sembarang-an akan dihukum mati (Keluaran 30: 33). Minyak yang dicurahkan dari buli-buli ini adalah merupakan simbol Roh Kudus.

Begitu juga dalam Perjanjian Baru (PB), minyak urapan merupakan simbol dari Roh Kudus. Dalam praktek masa kini, gereja membaptis umat dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dengan memakai air, juga adalah simbol dari Roh Kudus. Artinya, minyak adalah simbol, bukan benda magis. Tetapi tujuannya, yaitu pengurapan adalah suci. Maka siapa yang sembarangan Tuhan akan menghukumnya. Bentuk hukuman di era PL terus bergerak dinamis hingga ke era PB. Misalnya di PL yang sembarangan akan dilenyapkan (dihukum mati), tidak lagi di PB, tetapi tetap menjadi orang yang terhukum di hadapan Allah. Bentuk hukumannya yang berubah. Karena itu mengultuskan minyak sebagai benda magis adalah sebuat tindakan jahat, yang sama sekali tidak kristiani. Allah-lah sumber berkat, sumber penyembuh bagi umat-Nya, dengan atau tanpa minyak urapan.

Nah, sekarang pada hamba yang diurapi. Yang pertama, jika menyangkut gelar maka itu hanya ada satu, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Kristus artinya Yang Diurapi). Jadi sangat mengerikan jika orang Krsiten memakai kata yang diurapi tanpa memahami arti kata itu sebagai gelar. Karena itu, mengingat hal ini bisa rancu, lebih baik hamba Tuhan disebut saja hamba yang sungguh-sungguh. Sementara yang kedua, jika itu menyangkut penahbisannya, maka semua pendeta ditahbiskan, yang berarti diurapi (dengan penumpangan tangan sebagai simbol berkat Allah Bapa, Anak, Roh Kudus). Artinya, tidak ada pendeta yang tidak diurapi (kecuali memang seseorang yang hanya mengaku, namun tidak jelas institusi gerejanya). Nah, dengan begini menjadi jelas bagi kita memahami arti kata “yang diurapi” dan bagaimana pemakaian yang bertanggung jawab dan tepat.

Sekarang bagaimana dengan kata jangan mengusik hamba yang diurapi Tuhan, yang membuat jemaat takut mengkritisi hamba Tuhan, bahkan yang jelas-jelas salah? Sembarang mengkritik, apalagi memfitnah seorang hamba Tuhan, tentu tak elok. Jangankan seorang hamba Tuhan, terhadap semua orang hal itu jelas tidak baik. Namun sebaliknya, mendiamkan kesalahan, atau tindakan tak terpuji, adalah perbuatan salah, termasuk jika yang salah itu adalah seorang hamba Tuhan sekalipun. Saling mengingatkan, menegur, untuk membangun, adalah semangat tubuh Kristus yang sehat. Namun memang perlu aturan yang jelas terhadap seorang hamba Tuhan. Teguran bisa dilakukan oleh tim hamba Tuhan, atau mereka yang dituakan dalam jemaat. Hamba Tuhan yang baik pasti tidak keberatan, karena teguran dalam kebenaran adalah kasih yang mendidik.

Memakai kasus Daud dan Saul, di mana Daud berkata, “Jauhlah dariku membunuh orang yang diurapi Tuhan, sangatlah tak layak”. Daud jelas menyatakan sikap melawan atas perilaku Saul yang semena-mena. Pelarian Daud dari hadapan Saul menjadi sikap yang mudah dibaca dan dipahami. Yang tak ingin dilakukan Daud adalah membunuh Saul, yang diurapi (ditahbiskan menjadi raja) oleh Tuhan sendiri. Daud menyerahkan soal hidup mati, atau pergantian posisi menjadi raja di antara mereka, kepada Tuhan sebagai yang berhak. Jadi, ini bukan soal Daud tidak menegur, atau tidak menyatakan sikap, sangat beda. Jadi, kasus Daud tak boleh dijadikan contoh agar tak menegur hamba Tuhan yang salah. Mengusik hamba Tuhan, memang tak disukai oleh Tuhan, jika itu dilakukan oleh orang tak benar. Dan sebaliknya, hamba Tuhan yang benar tentu tak perlu ditegur, yang perlu adalah hamba Tuhan yang tidak benar.

Dalam ketidakbenarannya si hamba Tuhan telah menunjukkan bahwa dia bukan seorang hamba Tuhan. Namun jika seorang hamba Tuhan berbuat salah, dan me-ngakuinya, maka sudah seharusnya sikapnya dihargai. Yang perlu ditegur adalah hamba Tuhan yang mencari keuntungan diri atau cacat moral namun bersikap seakan tak salah. Di sinilah letak persoalan integritas, yaitu ketika orang berusaha menyembunyikan dirinya dari kesalahan dengan cara bersembunyi di balik ayat-ayat suci yang dipelintir. Seorang hamba Tuhan yang berintegritas tak perlu resah dikritik. Karena hamba Tuhan yang berintegritas pastilah seorang yang berkualitas.

Mengkritisi sebutan hamba Tuhan yang diurapi menjadi signifikan di situasi di mana terjadi degradasi moral di lingkungan gereja. Seperti Yesus menyucikan Bait Suci yang ternyata tak lagi suci, begitulah kita di jaman ini dituntut untuk berani menyucikan diri dengan sikap mengkritisi diri sendiri. Mari mengintropeksi diri agar tak rajin bersembunyi di balik ayat-ayat suci sebagai tameng diri. Untuk itu jagalah perilaku hidup, perilaku ekonomi, perilaku sosial, sehingga orang percaya hadir nyata, bukan sekadar pemanis agama. Apalagi bagi yang berani berdiri di mimbar agama, harus berani terbuka, dan teruji nilai moralitasnya. Jangan lagi terbiasa menghindari kritikan dengan berkata jangan mengkritik hamba Tuhan “yang diurapi” cukuplah salah untuk salah, benar untuk benar, tak perlu berdalih. Tak boleh lagi pembodohan terjadi dalam hidup bergereja di mana umat diindoktrinasi sehingga tak lagi kritis.

Umat Kristen harus menjadi model dalam integritasnya, terlebih lagi para pengkhotbah. Mengkritisi “yang diurapi”, mari ramai-ramai kita lakoni, bukan karena membenci tapi sebaliknya karena mengasihi. Kritisi hamba Tuhan yang tidak benar kehidupannya. Kritisi khotbah-khotbah yang ngawur, kon-troversial, dan jauh dari ajaran Alkitab. Sehingga kita mem-persempit ruang bagi kekacauan dalam kehidupan bergereja. Bagaimanapun harus diakui bahwa semakin panjang barisan pengkhotbah dengan sejuta masalah, mulai dari kasus pajak, keuangan gereja, perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga kasus moral lainnya. Dan gawatnya, yang terlibat justru para pengkhotbah dengan label hamba “yang diurapi”. Yang dengan gelap mata umat justru membela dan menyembunyikannya. Sebagai orang percaya kita rindu gereja yang bersih, jujur, dan berintegritas. Ayo maju dengan mengkritisi label-label yang dipakai pengkhotbah untuk menyembunyikan diri. Selamat mengkritisi diri sendiri, selamat intropeksi, agar semua kita bersama bisa bersih diri. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar