Kamis, 19 Agustus 2010

MAKANAN TRADISIONAL PENCEGAH KANKER

Kematian yang
disebabkan penyakit
kanker akan terus
meningkat, jika tidak
ada perubahan pola
makan, perilaku,
gaya hidup di
masyarakat. Satu
upaya bermakna
yang bisa
mengurangi penyakit
kanker adalah lebih
banyak
mengonsumsi
makanan tradisional
(lokal).
"Globalisasi
mendorong
terjadinya
perubahan radikal
dalam sistem retail
pangan, yang
ditandai dengan
menjamurnya
"hypermarket",
restoran cepat saji,
waralaba, "food
court" dari berbagai
penjuru dunia, yang
sebagian besar
meyajikan "junk
food" (makanan
sampah) dengan
risiko terkena
kanker sangat
tinggi," kata Prof dr
Muhammad Sulchan
dalam pidato
pengukuhannya
sebagai Guru Besar
Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran
Universitas
Diponegoro,
Semarang, belum
lama ini.
Ditambahkan,
penetrasi pangan
global menyebabkan
konvergensi
makanan,
pergeseran budaya
pangan, perubahan
pola makan, dan
kebiasaan makan
tidak sehat. Hal itu
ditandai dari
konsumtivisme dan
hedonisme yang
imitatif.
Buruknya hubungan
manusia dengan
alam berpijak pada
etika antroposentris
-- etika yang
mengedepankan
hasrat manusia atas
alam yang
berdampak pada
eksploitasi besar-
besaran sumber
daya alam,
hiperkomodifikasi,
terutama "fast
food", dan hiper
konsumsi. Kondisi itu
membuat hidup
masyarakat menjadi
sangat konsumtif.
"Dari situlah
malapetaka penyakit
muncul, terutama
penyakit-penyakit
kronik termasuk
kanker," kata
Sulchan
menegaskan.
Dalam sejarah
peradaban, menurut
Sulchan, manusia
mengakses pangan
yang dibutuhkan
untuk dikonsumsi
selalu mengikuti
hukum-hukum alam
yang terikat secara
ekologis dengan
makro dan
mikrokosmosnya.
"Alam semesta
merupakan tempat
manusia belajar
banyak hal,
termasuk
keberagaman,
keseimbangan, dan
saling
ketergantungan
yang sinergis,"
katanya.
Ketika keberagaman
dan keseimbangan
terancam oleh
perilaku manusia,
maka pilar
kehidupan akan
runtuh. "Eksploitasi
alam berlebihan
untuk memenuhi
hasrat konsumsi
manusia sedang
menuju ke arah itu,"
katanya.
Ia menjelaskan,
beragam karsinogen
(pemicu kanker) ada
di dalam pangan,
meliputi karsinogen
pangan alamiah dan
buatan, sumber
subtansi selama
penyimpanan, proses
pengolahan panas
tinggi, polutan,
pestisida, bahan
tambahan pangan,
dan sekitar seribu
zat bersifat
karsinogen.
Menurut Sulchan,
pengawetan dan
pengolahan
makanan dengan
menggunakan
garam, pengasapan
bersifat inisiator dan
promotor kanker.
Makanan cepat saji
menggunakan
proses pengolahan
dan pematangan
yang berisiko
menyebabkan
kanker.
"Westernisasi
makanan
meningkatkan risiko
terkena kanker,"
katanya.
Untuk mengurangi
risiko kanker,
Sulchan
menyarankan agar
masyarakat lebih
banyak
mengonsumsi
makanan lokal yang
menggunakan bahan
baku alami dan
diolah secara
tradisional. Selain itu,
harus mengonsumsi
banyak sayuran dan
buah-buahan segar,
karena pada
keduanya terdapat
banyak zat yang
bersifat antioksidan.
Ia menyebutkan,
memakan tahu dan
tempe berbahan
kedelai lokal lebih
sehat dibanding
kedelai impor dari
Amerika Serikat
yang masuk kategori
GMF (genetically
modified food).
Kedelai GMF banyak
ditolak negara-
negara Eropa.
"Konsumsi sayuran
dan buah asli, bukan
ekstraks," katanya
mengingatkan.
Ia mencontohkan
kasus kanker usus
besar di Tanah Air
menunjukkan
peningkatan. Pada
tahun 1934 hanya
ditemukan satu
kasus, lalu pada 1937
menjadi tujuh, dan
saat ini
prevalensinya
sekitar 1,8 per
100.000 penduduk.
"Dibandingkan
prevalensi di AS dan
negara maju lainnya,
kasus kanker usus
besar di Indonesia
memang masih
rendah. Namun, hal
ini tidak bisa
dijadikan alasan
untuk tidak
mengurangi jumlah
pengidapnya,"
ujarnya.
Di AS, kata Sulchan,
angka kejadiannya
40 per 100.000
orang, Eropa (30),
Jepang (13), India (9),
dan Nigeria 2,5 kasus
per 100.000
penduduk.
Hal senada
dikemukakan Ketua
Perhimpunan
Onkologi Indonesia,
Prof Suhartati. Dalam
kesempatan
terpisah, di Jakarta,
baru-baru ini, Prof
Suhartati
mengatakan, dunia
terancam ledakan
penyakit kanker
dalam kurun waktu
25 tahun ke depan.
Diperkirakan akan
ada 84 juta orang
meninggal akibat
penyakit kanker.
"Ledakan kanker
terutama terjadi di
negara berkembang.
Karena ada
peningkatan
penderita kanker
sebanyak 300 persen
pada tahun 2030,"
ujarnya.
Penyebabnya,
menurut Prof
Suhartati, karena
penyakit kanker
termasuk dalam
neglected endemic
atau penyakit yang
tanpa gejala. Akibat
ketidaktahuan akan
penyakit itulah yang
membuat
masyarakat tidak
melakukan
pencegahan dini.
Hal ini dibuktikan
dengan pasien yang
datang sudah pada
kondisi stadium
lanjut. "Mereka
datang dalam kondisi
stadium advanced
dan local advanced
atau stadium 4," ujar
Prof Tati.
Berdasarkan hasil
survei kesehatan
rumah tangga,
kanker merupakan
penyebab kematian
nomor lima di
Indonesia. Dalam 20
tahun terakhir angka
penderita kanker
bertambah dari 3,64
persen tahun 1981
menjadi 6 persen di
tahun 2001.
Data American
Cancer Society
mencatat, penyebab
kematian terbesar
pada wanita di dunia
adalah kanker
payudara (19
persen), kanker
paru-paru (19
persen), serta
kanker kolon dan
rektum (15 persen).
Pada pria, penyakit
kanker didominasi
oleh kanker paru (34
persen), kanker
kolon dan rektum (12
persen), serta
kanker prostat (10
persen).
Diperkirakan, 80-90
persen kanker
disebabkan oleh
faktor-faktor yang
terkait dengan
lingkungan dan
makanan.
"Dari sudut pandang
gizi, diketahui bahwa
energi, protein, zat
besi, seng, dan
vitamin A berperan
penting dalam
mempertahankan
sistem kekebalan
tubuh. Defisiensi zat-
zat gizi tersebut
akan melumpuhkan
sistem kekebalan
tubuh, dan akhirnya
tubuh tidak mampu
menahan
karsinogenesis
(pemicu terjadinya
sel kanker),"
ujarnya.
Dalam studi
menggunakan
hewan percobaan
terbukti bahwa
pembatasan
makanan tertentu
dapat mencegah
pertumbuhan
berbagai tumor.
Teori yang
mendasari hal itu
ialah dengan
pembatasan
makanan akan
menyebabkan
perubahan hormonal
di dalam tubuh,
sehingga proses
tumorigenesis
(pembentukan
tumor) menjadi
terhambat.
"Penyakit tumor
terlihat cenderung
menimpa hewan
percobaan (tikus)
yang mempunyai
berat badan berlebih
akibat terlalu banyak
makan," kata Prof
Tati.
Makanan yang kaya
akan lemak ternyata
berkaitan erat
dengan munculnya
kanker usus dan
kanker payudara.
Sedangkan
kandungan lemak
yang rendah dan
konsumsi serat yang
tinggi, seperti pada
pola makan
vegetarian, dapat
menekan jumlah
penderita kanker.
Tumorigenesis akan
semakin
berkembang pada
pola makan yang
rendah lemak tak
jenuh ganda. Lemak
tak jenuh, baik
tunggal maupun
ganda, selama ini
dikenal sebagai
lemak yang
bermanfaat bagi
pencegahan
penyakit jantung
koroner. Bahan
nabati seperti
kacang-kacangan
umumnya kaya akan
lemak tak jenuh.
Hormon tertentu
diduga ikut
bertanggung jawab
pada munculnya
tumor. Pengeluaran
hormon itu dipicu
oleh konsumsi lemak
yang tinggi.
Contohnya adalah
hormon prolaktin
(serum) yang
merangsang
pertumbuhan tumor,
ternyata kadarnya
semakin meningkat
apabila makanan
yang kita konsumsi
kaya akan
kandungan lemak.
"Ketika kita
memasak daging,
terbentuklah
senyawa HCA
(senyawa amina-
amina heterosiklis)
yang dipercaya
dapat menyebabkan
kanker. HCA muncul
sebagai reaksi antar
protein hewani
selama proses
pemasakan atau
browning
(pencokelatan).
Semakin sedikit HCA
yang terbentuk,
semakin sehat
daging yang kita
konsumsi," katanya.
Namun, diakui Prof
Tati, banyak orang
yang tidak tahu
bahwa cara
memasak makanan
ternyata sangat
mempengaruhi
jumlah HCA yang
terbentuk.
Memanggang daging
di dalam oven akan
menghasilkan HCA
lebih sedikit
dibandingkan dengan
menggoreng,
membakar, atau
memanggang di atas
kompor yang
suhunya tinggi.
Sedangkan merebus
secara perlahan-
lahan dengan panas
bertahap, mengukus
atau memasak
dengan oven, praktis
tidak menghasilkan
HCA. Berbagai
percobaan pada
hewan menunjukkan
bahwa HCA
berpotensi
mengakibatkan
kanker usus besar,
payudara, pankreas,
hati, dan kandung
kemih.
Studi yang dilakukan
New York University
Medical Center
mengemukakan
bahwa wanita yang
rajin makan daging
merah memiliki
peluang menderita
kanker payudara dua
kali lipat,
dibandingkan
mereka yang hanya
makan daging
unggas dan ikan.
"Mengonsumsi
daging sebaiknya
selalu disertai
dengan sayur dan
buah sebagai sumber
antioksidan. Buah-
buahan seperti jeruk,
sangat kaya akan
vitamin C yang
merupakan golongan
antioksidan kuat.
Demikian juga
konsumsi sayuran
berwarna hijau juga
akan menetralkan
pembentukan HCA,"
ucapnya.
[suarakarya-
online.com]
Label: makanan,
tradisional, kanker
Informasi Kesehatan
terkait:
Cerdas Memilih
Makanan
Aspirin Hambat
Kanker Payudara
Daging Merah
Meningkatkan Risiko
Kanker Payudara
Seks Usia Muda
Sebabkan Risiko
Kanker
Tidak Ada Hubungan
Ponsel Sebabkan
Kanker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar